Lady Octopus by Nona Soedhowo. +Follow | Dashboard
Lady Octopus
Entries ~~ LadyLo ~~ Friends ~~ Connect



satu rasa
Selasa, 06 Desember 2011 | 0 comments
Cause when I’m with him
I am thinking of you
Thinking of you

Aku selalu menyukai sosoknya ketika bermain gitar. Ada getaran aneh yang kurasakan saat melihat jemarinya memetik satu-persatu senar itu dengan lembut. Getaran itu semakin menguat ketika dia menghentakkan kakinya ke atas lantai, mengikuti melodi yang dia mainkan dengan sepenuh hati. Ada sesuatu yang menggelitik perutku saat dia tersenyum singkat padaku, masih sambil memainkan gitar itu di tangannya.
Hari ini pun aku kembali menikmati kebiasaan lamaku; duduk di tepi ranjangnya, sambil mengamati dia yang sedang bermain gitar  di atas karpet. Kebiasaan yang entah sudah berapa bulan kutinggalkan karena aku tak bisa lagi berada di sisinya. Sesederhana itu.
Kuambil sebuah mug besar berisikan susu hangat yang dia buatkan untukku beberapa menit lalu. Kuteguk isinya dengan perlahan, sambil menikmati aroma susu yang manis dan menenangkan. Aku selalu menyukai susu buatan Gamal. Ada rasa manis yang istimewa di dalamnya. Sama seperti Gamal sendiri—manis, istimewa, dan menyenangkan.
“Sudah lama ya,” aku bersuara, lebih seperti berkata pada diri sendiri.
“Iya.” Gamal menyahut selama beberapa detik, lantas melanjutkan permainan gitarnya. “Kamu nggak pernah lagi datang ke sini.”
Aku ingat, dulu aku selalu menyempatkan diri untuk bermain ke sini. Setiap hari. Tak peduli apakah saat itu hujan sedang turun, atau aku sedang sakit. Yang kuingat, aku selalu duduk di sini mendengarkan permainan gitar Gamal, sambil sesekali mengiringinya dengan nyanyianku. Ya; aku lah yang mengiringi petikan gitar Gamal. Biasanya, gitaris selalu mengiringi penyanyinya. Namun, kami berbeda. Gamal adalah tokoh utama dari pertunjukan kecil kami. Sama seperti dia yang selalu menjadi tokoh utama dalam setiap kisahku.
“Kamu tahu kan, Mal… aku bukannya nggak mau datang, tapi nggak bisa datang.” Ada getir yang tersembunyi dalam perkataanku barusan. Aku ingin Gamal tersadar bahwa dia masih menjadi pusat dari duniaku hingga detik ini. Aku juga berharap agar dia bisa mengingat jelas kenangan-kenangan manis yang kami ukir bersama, dengan tiap harinya yang terasa seperti  mimpi indah bagiku.
Tapi, suatu hari aku sadar bahwa aku tidak bisa terus bertahan. Aku memutuskan untuk berhenti berusaha. Berhenti menyayangi. Berhenti mengejar cintanya yang terlalu jauh. Matanya selalu ada di sini  untukku—namun, hatinya tidak.
“Sherma, jangan mulai deh.” Gamal berkata pelan padaku; tak ada antusiasme yang tampak di wajahnya barang sedikit pun.
Aku menggeleng, kemudian meraih tangannya. Otomatis Gamal segera menghentikan permainannya. “Mal, aku benar-benar nggak tahan lagi. Aku pernah menyukai Rei, tapi hanya sebatas  itu. Walaupun sekarang aku sama dia, tapi yang ada di otakku… cuma kamu. Dan selalu kamu.”
“Rei nggak berhak disakiti, Sher. Kamu sudah memilih dia, jadi jalani apa yang sudah kamu pilih.”
“Nggak bisa, Mal. Aku sudah berusaha sekeras mungkin, tapi hasilnya tetap nihil. Dia memang menyayangi dan melindungiku, sayangnya aku nggak pernah merasa nyaman sama dia,” aku menarik napas. “Ada momen-momen tertentu yang cuma bisa aku bagi ke kamu, Mal…”
Aku  tidak tahu sejak kapan hubungan kami mulai membeku seperti ini. Mungkin semenjak Rei masuk dalam kehidupanku. Atau jangan-jangan jauh sebelum itu? Sewaktu aku menyadari bahwa perasaanku terhadap Gamal adalah hal yang istimewa, mungkin. Atau ketika aku mengerti bahwa sudah saatnya aku pergi dari lembaran kisah Gamal? Apapun itu, aku sangat merindukan dunia kecil kami. Rutinitas yang selalu kami jalani berdua, walaupun kami tidak pernah terikat dalam status apapun. Maksudku, apakah label “sahabat” antara seorang laki-laki dan teman perempuannya benar-benar ada di dunia ini?
“Maaf, Sher…” Gamal menggantungkan ucapannya di udara, persis seperti apa yang dia lakukan padaku selama ini. “Aku mau pergi. Kayaknya lebih baik kalau kamu juga, deh.”
Hanya itu yang dia katakan padaku. Aku sadar bahwa dia sama sekali tidak memiliki niatan untuk membalas segala perkataanku barusan. Aku juga mengerti bahwa ucapannya tadi adalah sebuah pengusiran halus yang cepat atau lambat akan dia lontarkan padaku. Aku tahu. Aku, Sherma, selalu hapal akan setiap satu millimeter hal yang ada pada diri seorang Gamal. Aku lah yang paling tahu segala macam detail tentangnya. Aku tahu wujud seorang Gamal dari berbagai sudut pandang. Aku bahkan tahu segala hal yang tidak diketahui orang lain tentangnya. Hal-hal yang hanya kami bagi berdua; rahasia kecil aku dan Gamal.
Ada saat dimana kita harus memilih pilihan yang paling  menyakitkan untuk mendapatkan yang terbaik. Bagiku, ini adalah saatnya. Aku pernah, sedang, dan akan selalu mencintai seorang Gamal. Gamal pun tahu pasti tentang hal itu, tapi dia memilih untuk menjalani segala sesuatunya dengan logika. Dengan akal sehatnya.  Meskipun, mungkin, dia ingin sekali  menarikku dari semua mimpi buruk ini, dia tetap memilih untuk membiarkan semuanya mengalir seperti apa yang seharusnya.
Aku dan Gamal tidak ditakdirkan untuk bersama; sama seperti dua sisi koin yang tidak akan pernah saling bertemu.
Dan, Rei… dia hanya lah perantara, pengantar suratan takdir kami.

**


You said move on
Where do I go
I guess second best
Is all I will know

***

Cerpen ini... it's not my best. Bahkan, bisa dibilang aku sama sekali nggak merasa puas sama cerpen ini. Tapi aku suka. Cerpen ini sengaja kubuat untuk temenku, berdasarkan kisah nyata yang dia alamin. Alhamdulillah, dia suka. Cerpen ini juga dipake temenku yang lain buat ngerjain tugasnya, hahahaha... terus, cerpen ini juga cerpen pertama yang ku-print setelah sekian lamanya (aku bahkan nggak inget kapan terakhir kali aku nge-print tulisanku). Intinya?

Aku ngerasa kalo cerpen ini, somehow membawa kebahagiaan tersendiri bagi orang-orang tertentu. Dan aku selalu seneng, kalo ternyata karyaku bisa memberikan sedikit keajaiban untuk orang lain :)

Love,
LadyLo. 

Label: , , ,


Older Post | Newer Post