tunggu aku
Selasa, 04 Oktober 2011 | 0 comments
Langit masih kelabu, dengan awan yang menutupi cahaya matahari yang entah mengapa begitu malas menerangi pagi ini. Kita membelah kabut yang tak bertepi; kamu dan aku. Deru motormu memecahkan kesunyian yang ada, mengingatkanku akan fakta bahwa hanya kamu dan aku yang berada di jalan raya ini, telah berada dalam balutan seragam putih abu-abu kita.
Aku menarik napas dalam-dalam, berniat untuk menikmati aroma lembab hasil pertemuan air hujan dengan jalanan tadi subuh yang membuat pagi ini semakin sakral. Tapi yang masuk ke dalam rongga hidungku justru bau asap yang kau kepulkan dari rokokmu, asap yang sedaritadi mengusikku.
Tapi aku memilih untuk diam dalam tenang.
Mungkin jalan kita memang sudah berbeda. Mungkin hati kita sudah berpisah semenjak kita lulus dari SMP dan mengambil pilihan sekolah yang tak sama. Namun kita tetap memaksakan diri untuk menjadi satu; hanya karena tak ingin kalah dari ego yang menguasai diri.
"Nero," aku menyuarakan namamu. "Kita sudah jalan dua tahun, tapi kenapa aku masih belum bisa mengerti kamu?"
Sungguh, hal itu terucap begitu saja dari mulutku.
"Kamu pernah mengerti aku." Hanya itu yang kamu ucapkan, tanpa sedikit pun melirik ke arahku melalui kaca spion itu.
"Aku memang pernah," kuakui hal itu. "Tapi sekarang tidak lagi. Kamu berubah."
"Aku cuma merokok, Di."
Cuma, katamu. Seolah-olah merokok adalah aktivitas yang biasa dilakukan semua murid SMA di Nusantara ini.
"Bukan cuma, Nero, tapi sampai." Aku mendesah. Kadang, ada beberapa hal yang hanya bisa tersampaikan melalui desahan dan helaan napas abstrak. "Dulu kamu nggak begitu."
Skakmat.
Laju motormu melambat. Akhirnya kamu menyempatkan diri untuk melirikku melalui kaca spion itu. Bukannya senang, aku justru merasa takut.
"Kenapa? Kamu malu karena aku jadi berandalan seperti ini, sementara kamu tetap berhasil mempertahankan posisimu sebagai murid teladan?"
Aku terkesiap mendengar kata-katamu. Bukan itu yang kumaksud! Hal seperti itu bahkan tak pernah terlintas di otakku barang setitik pun.
Kamu tetap melanjutkan tuduhanmu, entah dengan kesinisan yang kutangkap, maupun dengan nada getir yang tersingkap.
"Atau kamu malu untuk mengakui kalau label 'pasangan sempurna' yang seenaknya orang-orang itu berikan pada kita, ternyata hanya bertahan selama dua tahun?"
Aku terdiam. Ingin rasanya aku menutup kedua telingaku, namun semuanya sudah terlambat. Aku hanya mampu menatap puntung rokok yang baru saja kau campakkan ke atas tanah dengan kasar. Bukan itu yang kumaksud, tapi aku tak mampu untuk menampiknya. Semuanya karena tatapanmu yang membunuhku, dan suara beratmu yang mencekam.
Aku takut.
Kamu menggeleng pelan. Aku mampu menangkap guratan kecewa yang tergambar jelas di wajahmu. Sungguh, teriris hati ini saat mendapatinya bergeming di sana, di dalam kedua matamu yang terlihat lelah.
"Aku tak pernah mau mengecewakanmu." Aku memberanikan diri untuk berucap. "Dan bukan itu yang kumaksud, Nero."
"Bohong." Kamu masih mendakwaku. "Pasti hal semacam itu pernah terpikirkan olehmu, kan? Kecuali kamu orang gila."
"Memang." Aku berkata mantap, mulai menguasai keadaan. "Aku memang sinting tingkat dewa. Hal seperti itu tak pernah sekalipun terpikir olehku. Aku ini tulus mencintaimu."
Kamu tak menjawab. Saat itu lah aku yakin kalau kamu sudah melunak.
"Aku bukan teroris, Nero. Tidak perlu mencurigaiku seperti ini. Kemana rasa percaya yang dulu?"
"Aku sudah berubah, Di. Aku sudah jatuh terlalu dalam, dan tak mungkin kembali lagi." Kamu berucap saat kita melewati tikungan itu.
"Nggak ada yang mustahil di dunia ini."
"Tapi butuh waktu yang lama, Di."
"Aku mau menunggu kok. Berapa lama pun itu." Karena hatiku terlanjur terikat padamu, Nero.
Kamu tersentak. "Justru itu lah yang aku takutkan. Aku nggak mau kamu terus menunggu, Di..."
"Kenapa? Bukannya kita sudah saling berjanji akan setia satu sama lain, bagaimana pun keadaannya?" Mendadak aku merasa panik. Apakah dia berbohong saat mengucapkan ikrar itu?
"Memang begitu. Tapi aku tak mau kamu menyia-nyiakan waktumu hanya untuk aku yang bodoh ini, Di," sahutmu. "Kamu masih bisa terbang bebas, beda denganku. Kamu akan melewatkan ribuan kebaikan kalau kamu terus menungguku."
Aku tak menjawab. Bingung.
"Sayapku sudah patah, Di. Kamu yang harus menggantikanku untuk terbang. Jadi, tetaplah terbang di angkasa... demi aku."
Ada sesuatu yang menghujam jantungku saat kamu mengatakannya. Wajahmu terhalangi oleh kaca helm sehingga aku tak mampu mengawasi ekspresimu. Apakah kamu sungguh-sungguh mengatakannya? Secepat itu kah kamu menyerah?
"Audi, aku mau kamu berhenti jadi pacarku begitu kamu turun dari motorku ini." Akhirnya kamu melancarkan ultimatum itu. Kata-kata yang paling aku takutkan akan meluncur dari mulutmu selama dua tahun perjalanan kisah kita.
"Aku nggak mau!" Aku mencoba melawan. Percuma. Aku tahu kalau keputusanmu sudah final.
"Kalau kamu nggak mau meninggalkan aku, terpaksa aku yang harus melakukannya untuk kamu."
Kini, semuanya menjadi kabur. Gelap. Aku tak tahu lagi harus berbuat apa, harus mengatakan apa. Aku masih mencintaimu, dan aku tahu kalau, setidaknya, kamu juga masih menyisakan cintamu untukku.
Bukankah lebih baik kalau kita berpisah dalam keadaan saling membenci? Tapi aku tidak bisa membencimu. Sedikit apapun itu, aku tidak bisa. Mungkin karena kamu belum mengembalikan hatiku yang kamu tawan.
Maka aku hanya menutup mulutku, pasrah. Kalau memang ini harus terjadi, yang harus aku lakukan adalah menikmati detik-detik terakhir kebersaman kita, kan?
Jalanan mulai ramai. Langit juga semakin terang. Tapi hatiku tidak. Sungguh ironis; orang-orang dan dunia memulai paginya dengan ceria, namun kita justru harus mengawalinya dengan duka. Kita.
Kamu dan aku.
Beberapa saat lagi, kata 'kita' akan segera terhapus dari kehidupanmu, bukan?
Aku memutuskan untuk menyandarkan kepalaku ke punggungmu yang kokoh, dan melingkarkan tanganku di sekitar pinggangmu. Biar saja orang-orang tua itu menatap kita dengan jijik. Aku tak peduli. Mereka tidak tahu apa yang harus kita lewati.
"Di?" Kamu memanggilku, heran.
"Aku belum turun dari motormu, jadi aku masih pacarmu kan?" Aku berkata pelan. "Aku nggak akan menangis, jadi tolong biarkan aku menguasai detik-detik ini."
Kukira kamu akan menyingkirkan pelukanku dari tubuhmu. Namun apa yang kamu lakukan kemudian justru mengejutkanku. Tangan kirimu terulur ke arahku, menggenggam tangan kananku erat-erat. Mengusapnya, memijatnya lembut penuh cinta. Membuatku semakin tak rela untuk melepaskanmu, apalagi meninggalkanmu.
"Harusnya kita nggak saling jatuh cinta," gumammu putus asa.
"Salah. Harusnya kita nggak wajib berpisah," aku meralat ucapanmu. "Nero, jangan pernah menyesali apa yang sudah kita lalui bersama. Hanya itu yang kuminta darimu."
Aku dapat merasakan anggukan kepalamu. Sesaat, aku merasa bahwa dirimu yang dulu telah kembali.
Detik-detik selanjutnya berjalan dengan lambat. Ingin rasanya tetap tinggal dalam waktu yang ini, di sini, bersamamu. Tapi aku harus terbangun dari mimpi indah kita, saat mendapati motormu telah terhenti di depan sekolahku.
"Sudah saatnya, Di."
Kata-katamu bergema di batinku, seperti bel raksasa yang berdentang kencang. Ada pilu dalam hatiku, dan aku juga mendapatinya di wajahmu. Mimpi apa aku semalam, sampai harus--tiba-tiba--berpisah denganmu?
Dengan berat hati, aku menapakkan kakiku di atas tanah. Detik itu lah aku dapat mendengar bunyi semu dalam otakku. Bunyi yang menyadarkanku bahwa aku bukan siapa-siapamu lagi. Kini, Nero yang ada di hadapanku adalah orang asing yang bukan milikku lagi.
Kamu berlalu begitu saja tanpa menegurku lagi, seolah pelukan dan genggaman yang tadi tak pernah terjadi. Diam-diam justru aku bersyukur, karena aku pasti tak akan mampu membendung air mata ini kalau kamu berpamitan denganku.
Aku tak mau berpisah denganmu, dan tak sudi mendengar kalimat perpisahan darimu.
Tapi aku tak mampu mengangkat kedua kakiku, sekedar untuk menggerakkannya masuk ke pekarangan sekolah. Aku hanya bisa berdiri mematung di sini, menatap punggungmu yang menjauh. Menatap motormu yang mulai hilang dari pandanganku.
Aku akan merindukan semuanya tentangmu. Semuanya.
Aku terpaksa melanggar janjiku padamu barusan. Aku ini memang egois; sudah memiliki pelukan dan genggaman terakhirmu, tapi tetap saja meneteskan air mata. Biarlah seperti ini. Biar saja.
Aku berharap kalau kamu akan berputar balik dan kembali ke hadapanku, mengatakan kalau semua ini hanyalah leluconmu. Aku bahkan bermimpi kalau hari ini adalah hari ulang tahunku, agar aku mampu berharap kalau kamu hanya mengerjaiku. Tapi semua ini adalah kenyataan. Kamu tak juga kembali.
Yang selanjutnya terjadi begitu cepat. Aku tak peduli lagi dengan kenyataan yang ada. Aku berlari meninggalkan kerumunan, berusaha untuk mengejarmu sampai dapat. Biar saja kalau dia tak ada di sana, jadi aku bisa merasakan kekecewaan yang nyata terhadapnya, untuk yang pertama kalinya. Jadi aku memiliki alasan untuk membencinya. Jadi aku bisa melanjutkan hidup.
Sekali lagi, semuanya akan jadi lebih mudah kalau kami saling membenci.
Tapi dia ada di sana. Aku tak tahu aku sudah berlari sejauh mana, namun aku merasa baru berlari beberapa meter dari sekolah. Tak ada rasa lelah. Yang ada justru perasaan tak percaya, terkejut penuh ketakjuban. Apakah ini mimpi?
Setelah beberapa menit aku terbujur kaku, barulah aku yakin kalau ini dunia nyata. Dia ada di sana, sedang menepi sambil menatapku penuh kekalutan dan keterkejutan. Dia ada di sana! Nero-ku!
Aku kembali berlari, kali ini menghampirinya. Aku merentangkan tanganku, dan dia menyambutku dengan sigap. Kami kembali berpelukan di pinggir jalan, dihujani tatapan asing dari orang-orang di sekeliling kami. Kami tak peduli.
Kami hanya saling memeluk satu sama lain dalam diam, menikmati momen sakral ini. Tak ada pertanyaan, tak ada pernyataan. Seolah semuanya telah terjawab melalui pelukan ini. Kita memang terlalu memahami satu sama lain. Aku dan kamu.
"Aku sayang kamu, Nero. Terlalu sayang, dan nggak bisa berubah."
Kamu menyeka air mataku. "Tunggu aku, Di."
Saat itulah aku tahu, semuanya akan baik-baik saja.
Label: Cerpen, Happy, Love, My Creations