BTDLA 2 : Ketegasan cerita menjadi kunci kualitas sebuah karya film
Sabtu, 10 Desember 2016 | 0 comments
Perasaan senang
bercampur antusias saat saya tahu kalau sekuel film Bulan Terbelah Di Langit
Amerika2 ini sudah tayang di bioskop mulai tanggal 8 Desember 2016. Ditambah
lagi, trailer yang banyak tersebar di timeline Instagram saya. Ahh saya jadi
semakin yakin kalau BTDLA2 ini akan lebih menarik dari yang sebelumnya.
Penayangan film yang
dimulai pada tanggal 8 Desember, ntah mengapa seperti sesuatu yang telah diatur
oleh Allah atas isu yang sedang berkembang di masyarakat terkait aksi damai
yang belakangan ini dilakukan oleh kalangan pemuka agama Islam di Indonesia.
Sama halnya dengan lantangnya para pelaku aksi menyuarakan suara nya, menurut
saya film ini merupakan film yang sangat berani untuk mengungkapkan sejarah
yang sebenarnya tanpa adanya hal yang ditutup-tutupi. Cerita dalam film ini,
mampu memberikan penjelasan kepada penonton dengan lantang, tentang salah satu
sejarah yang tidak pernah mendapat perhatian sebelumnya. Sejarah bahwa jauh
sebelum Colombus, ialah seorang pelayar muslim berkebangsaan China yang
menemukan Benua Amerika. Ya, seperti itulah gambaran yang saya dapatkan selama
menonton film ini. The voice of Modern Islam. Agama Islam memiliki caranya
sendiri untuk mengungkapkan kebenaran
yang selama ini ditutup-tutupi. Dengan film ini, saya merasa suara saya
sebagai seorang muslim turut terwakili dengan lugas. Perjalanan Hanum &
Rangga kali ini mampu memberikan fakta sejarah yang sama pentingnya bagi umat
muslim diseluruh dunia.
BTDLA2 seperti
mendapat tempat dihati saya pribadi karena berbagai konfliknya. Terkisah Azima
Hussein yang memutuskan untuk masuk Islam dan meninggalkan keyakinan lama nya
selama ia hidup bersama orang tuanya sebelum menikah dengan Abe Hussein. Kisah
ini sama seperti kisah yang teman saya lalui. Dimana orang tua nya, belum
menerima dengan ikhlas atas keyakinan barunya yaitu Islam. Film ini menjelaskan
sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh Allah SWT. Dimana orang tua berhak
untuk dimuliakan walaupun tidak beragama Islam. Sungguh agama yang
menggambarkan kepatuhan bagi pemeluknya.
Selama menonton,
ada sedikit hal yang cukup mengganggu dari beberapa adegan dalam film ini.
Adanya beberapa aktivitas promosi produk yang dibubuhkan dalam beberapa adegan.
Sedikit mengganggu sih, hehe selain ada promosi iklan, lantunan nada demi nada
pada soundtrack BTDLA2 yang dinyanyikan langsung oleh Acha Septriasa, seperti
kurang pas dengan atmosfir dalam konflik film tersebut.
Walaupun
demikian, layaknya film sebelumnya, BTDLA2 sayang untuk dilewatkan bagi kalian
seorang pemburu film bertajuk inspirasi-religi. Film karya anak bangsa yang
satu ini, adalah film yang berkualitas karena film ini mampu meningkatkan
ghirah dalam berislam. Semangat untuk beribadah dan menguak fakta sejarah
tentang kebesaran Islam, sama seperti yang Hanum, Azima, dan Pak Hui tunjukan
pada dunia.
john doe
Kamis, 10 November 2016 | 0 comments
I've decided to write this before it hits 01.00 AM & I'm pretty sure you'd still be awake by the time it hits your timeline.Honestly, I've had enough of your high and mighty act. I'm sick of seeking for your acceptance. You're such a kid that needs to be pleased all the time and you don't have the guts to face a rejection.
👆🏻These are the words that I'm supposed to say, but...
...at the end of the day, I realise that I'm just scared. I'm deeply hurt and I'm not ready to face what I've feared the most for my whole life. I need you to be here and tell me that everything is gonna be okay. I need you to care about me. I need you to show that you genuinely care for me.
I need you to stop running away
and
just
be
here
with me.
LINTAH - sebuah puisi
Senin, 16 November 2015 | 2 comments
LINTAHOleh Nona Soedhowo
Ketika aku bilang cinta, itu artinya aku membencimu
Karena cintaku yang sesungguhnya tidak berbunyi
Tidak ada kasih yang tersampaikan melalui cinta yang kulisankan
Ketika aku bilang cinta, itu artinya aku ingin memenjaramu
Dalam belenggu sempit dengan jeruji tebal
Memaksamu bertahan dalam ilusi kasih sayang
Ketika aku bilang cinta, itu artinya aku ingin melukaimu
Melalui rangkaian kata indah dan cinta yang fana
Aku akan mencabik hatimu hingga tidak ada lagi yang tersisa
Jangan takut, inilah yang kamu mau
Jangan lari, aku tidak akan berhenti
Jangan tawarkan darahmu, yang kuinginkan adalah air matamu
Aku mencintaimu
Aku mencintaimu
AKU MENCINTAIMU.
Label: Poem
hidup di mimpi, bukan hujan
Senin, 22 Desember 2014 | 2 comments
Haloooo semua!! :D Rasanya udah lama banget nggak nulis di
sini, jadi sedih... padahal dulu jauh lebih rajin dan nyaris nulis setiap hari,
iya nggak sih? How are you, Octopuses? Things are eventually getting better
here. Much, much better.
Belakangan ini... rasanya kayak aku lagi hidup di mimpi.
Yang aku inget adalah momen-momen pas SMA dulu, selalu nempel
sama Nabila Ale Intan; kapanpun dimana pun. Entar sibuk ngerecokin bekalnya
Ale, terus diomelin Alief dan diketawain Raja sama Arif. Abis itu main ke IPA
3, datengin Ina-Nia-Catra-Dika atau siapapun yang bisa didatengin, just
because. Terus lanjut mlipir ke IPA 2, gangguin hidupnya Intan yang nggak tau
kenapa seringnya di kelas karena adaaaaaa aja yang kudu dia urusin di dalem.
Terus entar di tengah perjalanan ketemu Panjiiii. Baru akhirnya ketemu Nabila
waktu udah bel istirahat atau pas jam pulang, dan endingnya lanjut jalan bareng
rame-rame entah kemana.
Kalo mau nginget-nginget lebih jauh lagi, berarti bakal ada
momen aku-Sindy-Panji bablas main bareng sampe pagi—makan nasi kuning jam 2
pagi terus lanjut mlipir ngelewatin Unmul yang SUMPAH serem banget pas jam
segitu?? Atau pas jaman-jaman sibuk muter otak ngeluarin tenaga bikin short
movie bareng The Hippoes, yang lelahnya itu berkali-kali lipatnya bikin
Afternoon Tea. Terus, entar kalo udah malem diseret dateng ke birthday party
dan hebatnya mereka selalu berhasil bikin aku berangkat... padahal aku mager
abis, apalagi kalo lagi banyak download-an di waiting list dan wi-fi rumah lagi
kenceng. Oh, dan ada juga masanya bikin garage sale barang-barang Nabila di
pinggir jalan, yang endingnya jadi ga maksimal gara-gara aku bego banget
(hehehehe detail kejadiannya off the record ya :p) Setiap hari rasanya
selalu... apa ya? Rame? Lucu? Dinamis?
Tapi, sekarang kehidupan Nona udah nggak gitu lagi lagi.
I’ve been dreaming of going to UGM since I started remember
things, I think. Mulai dari jamannya masih rajin banget, jadi tengil, jadi
(terpaksa) rada rajin lagi... yang ada di otakku selalu sama; masuk Komunikasi
UGM, terus gedenya jadi newsanchor. Dan, percaya nggak percaya, sekarang aku
lagi ngejalanin yang pertama (yay! Alhamdulillah :D)
Prosesnya nggak gampang, jelas. Butuh rasa homesick yang
besar (super kangen sama Mama, Papa, dan Dara—my sis), air mata yang banyak,
keinginan buat nyerah-balik ke rumah-dan jadi bodo amat, rasa males banget
belajar tapi kudu dipaksain mempelajari materi, mental breakdown yang berujung
ke nyaris pingsan di rumah dan throwing a tantrum di jalan, belom lagi berbagai
macam jenis penyakit sering kambuh, setiap hari bangun dalam keadaan stres and
counting the remaining days...
Dan sekarang, setiap hari rasanya selalu ada satu hal baru
yang terjadi. Kalo dulu life lessons-nya nggak melulu langsung kentara,
sekarang semuanya jadi serba eksplisit. Dan, belajar hal baru itu selalu
menyenangkan. Belom lagi lingkungan baru yang isinya orang-orang yang selama
ini belom pernah kita tau, dan alhamdulillah mereka semua adalah orang-orang
yang menyenangkan dan unik . Like, I could already imagine living my university
life in the upcoming years all together with them :)
Rasanya kayak ajaib aja gitu, setiap kali nyadar kalo aku
lagi ngejalanin satu step kehidupan yang udah jauh berbeda dari apa yang aku
alamin sebelomnya. Buat semua yang kenal aku pasti bakal langsung tau, gimana
susahnya seorang Nona hidup sendiri... Nona yang nggak bisa apa-apa, yang
kerjaannya sakit, gampang ngerasa under-pressure, mikirnya kelamaan, sekarang
kudu survive seorang diri di sini. Tapi, setiap halangan yang terjadi di sini,
rasanya selalu menyenangkan. Mungkin karena emang ini kehidupan yang aku
pengenin—balik lagi ke Jogja setelah bertahun-tahun berjuang di Samarinda
supaya bisa balik ke kota kelahiran, dan akhirnya kejadian juga—jadi semua yang
terjadi di sini bisa aku terima. Like, aku jadi mikir; emang ini yang aku mau,
dan inilah konsekuensi yang harus aku hadapin. Dan aku ikhlas dalam menghadapi
semuanya.
Sekarang selalu ada kesempatan buat ketemu sama orang baru,
atau bahkan sekalian ketemu sama temen-temen lama dari jaman SD atau SMP yang
dulu, dan lama-lama mulai bisa nginget lagi hal-hal yang entah kenapa mendadak
hilang dari ingetanku begitu aku pindah ke Samarinda, and no matter how hard I
tried, those things wouldn’t come back into my brain and I ended up failing at
recognising things. Dan yang lebih ajaib lagi, jalanan yang dulu biasa aku
lewatin waktu kecil bareng orang tuaku, sekarang aku lewatin lagi sama
temen-temen SMA yang asalnya dari pulau yang lain dan kalo dipikir-pikir lagi
dulu, logikanya nggak mungkin pada bakal bisa lewat situ, bareng aku pula.
Jadi, tujuan dari aku nulis postingan ini adalah, aku pengen
buat semua temen-temen yang ngebaca tulisan ini dan merasa lagi ada di helpless
state untuk nggak berhenti berjuang dan terus percaya, things will eventually
get better. It will get better, at last. Aku dulu juga pernah mikir, that
things couldn’t get any worse than this, that I was stuck in an inevitable
rotten situation and I didn’t deserve any kind of kindness in this world. Tapi
toh, alhamdulillah aku tetep berhasil sampe di fase ini, still alive and
stuffs. Yang penting adalah selalu percaya bahwa Allah itu ada, Allah nggak
tidur dan selalu melindungi kita. Dan betapa mudahnya bagi Allah untuk
memutarbalikkan dunia kita. Mungkin belum sekarang, tapi nanti. Ada saatnya,
dan saat itu bakal tiba, selama kita mau tetap bersabar dan berjuang.
Dan, percaya deh, waktu saat itu tiba, kamu bakal bersyukuuuuuuuur
banget dan semua hal jadi terasa menyenangkan :)
Jadi, semangaaattttt dan jangan menyerah dulu, ya. Allah
sayang sama kamu, sama kita semua, dan Allah pasti selalu menyimpan kebaikan
untuk setiap makhluk-Nya. Kita semua bisa sampe di sini karena Allah, dan bukan
nggak mungkin bagi Allah untuk membawa kita ke tempat yang lebih, lebih baik
lagi. Setiap orang punya tempatnya sendiri kok di dunia ini ;)
Oh iya, dan buat beberapa temen yang in case lagi baca
postingan ini, aku bener-bener berterima kasih banget udah punya kalian dalam
hidup ini. Terima kasih sekali untuk Ale, Intan, Nabila, Alief, Raja, Arif yang
bikin masa SMA selalu jadi indah dikenang. Buat Ina, Kenken, dan Nia yang
sabarnya luar biasa dalam ngadepin Nona. Buat Cho sama Danang, yang nggak
pernah capek dan selalu ada buat Nona, nggak peduli seberapa besar jarak
misahin kita. Buat Puti, Balqiz, Nuri, Fifi, Adam, Zaki atas masa kecil yang
super bahagia. Buat Sindy, Panji, Amma, dan temen-temen OSIS lainnya atas waktu
yang bermanfaat dan pengalaman yang berharga banget. Buat semua temen-temen les
dan kegiatan selama ini yang nggak mungkin kusebutin satu-satu, terima kasih
banyak udah bikin kehidupan di luar sekolah jadi super menyenangkan dan selalu
ditunggu-tunggu! Terus buat semua temenku dari jaman kecil sampe sekarang, orang-orang
yang pernah aku temuin dalam hidup ini; setiap orang punya artinya
masing-masing di hati Nona dan kamu juga salah satunya. Terima kasih banyak
yaaaa! :D
Dan special thanks buat anak-anak YUHU; Intan Agil Catra Dika
Diko Haryo, terima kasih banyak karena udah selalu ada buat Nona di sini. Kalian
bikin tempat aku tumbuh besar, yang sesaat sempet kerasa asing ini, jadi jauh
terasa seperti rumah. Makasi banyak ya, walaupun aku sering dikerjain aku tetep
sayang kalian kok heheheheh.
Bismillah, insya Allah Nona siap ngejalanin hidup yang baru:)
Love,
LadyLo.
Label: About me, Daily story, Friends, Happy, Life, Renungan
dalam kabut
Senin, 15 September 2014 | 0 comments
Aku melihatnya dalam mimpiku.
Dia tampak begitu berbeda. Dirinya yang kuingat adalah dia yang berambut cepak, dengan bekas goresan luka di siku kirinya yang muncul saat ia terjatuh dari motor, dulu sekali. Waktu itu, dia hanya tertawa sembari membebaskan diri dari jepitan motornya. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana ia menepuk-tepuk celananya yang kotor, kemudian menasehatiku untuk tidak meniru caranya berkendara.
Waktu itu, dia masih selamat.
Aku juga belum bisa melupakan bagaimana dia akan berlari di pagi buta, menembus selimut kabut yang begitu tebal hanya karena ia menyukainya. Hal yang dulu menjadi alasan pertamaku merasa penasaran dengannya. Bahkan hingga kini pun, aku seolah mampu merasakan keberadaannya melalui gumpalan kabut yang kadang menerjang di tengah perjalananku. Dan ketika hal itu terjadi, aku akan melongokkan kepalaku ke luar jendela mobil dan menjulurkan tangan, sekedar untuk menyentuh kabut itu. Sejenak, aku bisa melihat dirinya yang dulu, berlari menembus kabut yang ada dan terlihat begitu terang di tengah kekelaman yang ada.
Di tengah kabut itu pula ia pernah menceritakan mimpi-mimpinya kepadaku. Tentang bagaimana dia berambisi menjadi sutradara film dokumenter, hal yang begitu sulit dilakukan namun sangat ingin dia wujudkan. Di sela malam yang dingin, dia menyebutkan barisan nama yang terdengar begitu asing di telingaku, yang kemudian dia perkenalkan sebagai sutradara-sutradara favoritnya. Itulah kali pertama aku berhasil menangkap sinarnya yang paling terang. Sinar yang tidak muncul ketika dia berlari menembus lapisan kabut itu. Sinar yang tidak muncul saat ia menampilkan tawa lepas yang selalu menjadi ciri khasnya. Lalu dia memiringkan kepalanya menatapku, dan menekankan betapa seharusnya aku menjadi film scorer pribadinya. Aku menyunggingkan senyum, dan dia terus berusaha meyakinkanku hingga akhirnya aku menjanjikan hal itu untuknya.
Waktu itu, rasanya seperti kami berjanji untuk selalu bersama. Berdua.
Janji itu kemudian berubah menjadi langkah-langkah kecil yang kami ambil guna mewujudkannya. Setiap bulan, dia dan timnya akan membuat film dokumenter untuk disertakan dalam kompetisi-kompetisi film pendek. Dan tiap itu pula lah aku, bermodalkan kemampuanku memainkan piano dan biola, menyusun lagu-lagu untuknya. Ada kenikmatan tak terukur yang muncul tiap kali melihat hasil akhir karya kami. Dan sampai saat ini pun aku selalu bersyukur. Betapa beruntungnya kami yang sempat mengabadikan kolaborasi kami dalam wujud yang begitu nyata, begitu indah. Dan betapa beruntungnya aku yang pernah memiliki dia, yang berhasil menyingkap kabut pekat yang ada dalam hatiku dengan segala terangnya.
Segalanya pernah terasa terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan, hingga akhirnya Tuhan menyadarkan kami bahwa apa yang sempurna tidak pernah ada.
Di dalam kabut yang ia cintai, nyawanya terenggut. Aku masih bisa mengingat jelas bagaimana helm itu terlempar, bagaimana ban motornya tidak berhenti berputar, dan bagaimana tubuhnya terkulai lemas di hadapanku. Saat itu, aku masih tidak bisa mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Otakku terlalu beku untuk menelaah situasi yang ada, dan hatiku terlalu hancur untuk menerima kenyataan itu. Semua orang berusaha meyakinkanku tentang betapa beruntungnya aku untuk memiliki keajaiban itu. Namun sesungguhnya yang ada dalam pandanganku hanyalah bagaimana keberadaannya semakin menipis, dan bagaimana trophy kami hancur berkeping-keping di tengah jalan. Segala hal yang selama ini telah kami perjuangkan mati-matian hilang dalam sesaat, bersama dengan menipisnya kabut yang ada.
Kabut itu, dan trophy itu.
Tuhan membiarkannya membawa serta hal-hal yang ia cintai, namun mengapa Tuhan menyisakanku di sini? Apakah aku masih belum cukup pantas untuk mendampinginya?
Pertanyaan itu terus terpaku dalam benakku, hingga akhirnya aku kembali melihatnya dalam mimpiku malam ini. Sudah berapa lami tidak bertemu? Belasan tahun. Itu saja sudah cukup menjelaskan rambut panjangnya, rahang kerasnya, dan tubuh kokohnya. Dia hanya berdiri di sana, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Aku berusaha untuk melangkahkan kaki menghampirinya, namun gagal. Dia menatapku dengn cara yang persis sama seperti yang selalu dia lakukan selama ini. Dirinya terasa begitu jauh sekaligus dekat. Terlihat begitu nyata dan sempurna hingga rasanya seperti ilusi semata. Keberadaannya mengingatkanku bahwa kami pernah begitu dekat dengan mimpi kami.
Aku merasakan bulir air mataku mulai mengalir. Awalnya hanya berupa tetesan-tetesan kecil, hingga akhirnya aku tak tahan lagi dan meledakkan tangisku. Tidak ada sedikitpun suara yang terdengar, namun kami berdua sama-sama tahu betapa keras aku berteriak memaki, menyesali seluruh kejadian yang telah terjadi. Apa yang melintasi kepalaku adalah tangan kami yang dulu selalu bertautan, kepalaku yang bersender di bahunya, kemudian lembaran-lembaran partitur lagu yang telah kuciptakan untuknya. Semua itu adalah nyata, tapi sekarang semuanya terasa fana. Dan itu terjadi karena dia pergi terlalu cepat.
Pergi tanpa sempat mewujudkan mimpi kami.
Aku mendongakkan kepalaku, berharap dia akan datang dan menghapuskan air mataku. Namun dia tidak berpindah sedikitpun dari posisinya, dan hanya menatapku dengan pandangan nanar dari jauh sana. Aku mengernyitkan alis, tidak memahami alasan dia yang tidak kunjung menghampiriku.
Sampai akhirnya aku menyadari, dia pun tidak bisa menggerakkan kakinya.
Lambat-laun, senyumnya mulai merekah. Aku bisa merasakan dentuman kecil dalam dadaku yang timbul karena senyuman itu. Senyuman yang menyerupai matahari yang baru saja terbit, menerangi tempat yang telah diliputi kegelapan untuk waktu yang terlalu lama.
Tiba-tiba saja aku terbangun dari mimpiku. Pipiku telah basah oleh air mata, dan dadaku terasa begitu perih. Napasku masih tersengal-sengal ketika aku menyadari jendela kamarku terbuka. Aku bangkit dari kasur untuk menutupnya, dan saat itulah aku melihat pemandangan yang terlalu indah untuk aku yakini sebagai kenyataan.
Di luar sana, kabut masih menutupi langit. Udara terasa begitu dingin sampai tubuhku sedikit menggigil. Namun tak perlu waktu lama untuk matahari menampakkan dirinya di langit timur, mengisi langit gelap dengan cahayanya yang terang dan menghangatkan. Cahaya itu kemudian menyisipkan diri di tengah-tengah pekatnya kabut yang ada. Indah, sekaligus terasa menyakitkan.
Aku mengulurkan tanganku untuk menyentuh kabut itu, dan mendadak kenyataan bahwa inilah caranya menyampaikan salam perpisahan melintas di benakku. Pemandangan ini ada untuk menebus perpisahan yang datang terlalu tiba-tiba, dan belasan tahun yang melayang begitu saja tanpa adanya closure dari seluruh rangkaian kejadian yang telah menghancurkan diriku ini.
Air mataku kembali menetes, kali ini disertai dengan senyum yang tersungging tipis di bibirku. Bahkan setelah belasan tahun berlalu, dia selalu penuh kejutan dan tidak pernah berubah. Betapa ajaib rasanya memikirkan fakta bahwa dia telah lenyap, dan segala kemagisan dalam dirinya masih terasa dekat. Dalam hati aku berjanji untuk memberikan penampilan terbaikku nanti malam, dan tak akan pernah melupakannya barang sedikitpun ketika aku tampil di atas panggung, dalam konser yang kugelar sebagai tribute untuk dirinya. Aku akan mengingat kenangan-kenangan yang pernah kami miliki, dan betapa momen ini terasa begitu mengiris hati sekaligus menjalarkan rasa hangat dalam tubuhku.
Kabut itu mulai memasuki kamarku, menyelubungi tubuhku. Aku merasakan kehadirannya dalam kabut itu, dan mengangkat tangan untuk meraihnya. Inilah caranya memelukku untuk yang terakhir kalinya, dan aku menghargainya. Tidak ada lagi raungan yang pecah, tidak ada lagi ratapan yang mengisi kamar. Yang ada hanyalah tetesan air mata bahagia, rasa syukur akan betapa beruntungnya aku pernah memilikinya, dan keinginan untuk mengabadikan momen ini selamanya.
Dalam kabut itu, aku tenggelam dengan seluruh keikhlasan yang aku miliki.
Disarm you with a smile
And leave you like they left me here
To wither in denial
The bitterness of one who's left alone
Oh, the years burn
--The Civil Wars (Disarm)
...with all the love and lust and anything in between
Minggu, 25 Agustus 2013 | 0 comments
I want to be the one who you would paint wings for
I want to be your pile of snow in the morning, your warm breeze in the midnight
I want to be your sweet dream, I want to be your beautiful nightmare
I want to embrace your broken soul
I want to kiss your scars
I want to be the cure of your pain
I want to carry all the burden with you
I want to fly, and I want to fall with you
I want to be your closest one, even when the planets bend between us
I want to be your obsession, I want to be your muse
I want to be your sweetest escape
I want to be with you, with all the love and lust and anything in between
Love,
LadyLo.