"Maira"
Jumat, 09 Oktober 2009 | 0 comments
Seorang gadis terduduk di kamarnya yang tidak terlalu besar, namun jauh dari kata sempit. Dia menduduki sebuah kursi hijau cerah, tepat di depan meja belajar warna hitam yang dilapisi taplak kuning--menatap layar komputer dengan majalah di tangan kirinya. Gadis itu berambut hitam kelam, sedikit di bawah bahu dengan model 'lob' (A/N: mirip dengan rambut model bob, tapi lebih panjang). Kulitnya kuning langsat dan bersih. Bola matanya bulat dan besar, dengan hidung mungil dan bibir yang kemerahan. Manis.
Diletakkannya majalah tersebut di atas meja belajarnya, kemudian dia mulai mengetik beberapa kalimat dengan komputernya. Membalas wall Facebook yang bertumpuk memang menyita waktu yang begitu lama. Kegiatan tersebut terhenti saat handphone-nya berdering keras.
"Aima?" suara diseberang sana menyapa penuh keraguan. Suara perempuan yang tidak asing lagi di telinga gadis tadi--Aima.
"Tisha? Kenapa?" tanya Aima, setengah menghela napas setelah kelelahan membalas puluhan wall yang menghiasi profil Facebook-nya dalam 20 menit belakangan ini. Tidak perlu heran. Siapa sih yang tidak kenal seorang Aima?
"Jalan ke Cliche, yuk? I've met a cute boy, and he promised to meet me at Cliche with his friend. Ini bisa jadi kesempatan yang bagus lho, Ai," Tisha menyahut, terdengar sangat antusias. Aima kembali menghela napas, sangat tidak tertarik.
"Ajak Rara aja deh, Sha. Sori, aku nggak minat," jawab Aima, terdengar datar. Tisha memang terdaftar di her bestfriends list, namun sifat Tisha yang satu ini--ganjen dan centil--adalah sisi negatifnya yang cukup Aima benci.
"Hah? Ngaco ah! Rara kan baru jadian sama Andri! Mana mungkin dia mau ikut ke Cliche..." Tisha terdengar putus asa. Aima menggeleng hebat.
"Nggak! Pokoknya nggak!" Aima menyahut, setengah memekik. Panik.
Tisha terdiam. Dia tahu, kalau Aima sampai berteriak, itu artinya dia benar-benar tidak mau. Dia mengambil napas dalam-dalam, dan mulai mengeluarkan suara.
"Iya deh... tapi nggak usah teriak gitu dong, Ai," kata Tisha. "Kalo kamu terus-terusan bersikap 'anti cowok' gini, kamu nggak akan pernah punya pacar loh, Ai."
Aima mendesah pelan. Kenapa sih, Tisha tidak juga bisa mengerti maksud dari sikapnya? Bukannya Aima anti cowok. Dia malah memiliki banyak sahabat laki-laki. Namun, sikap Tisha yang terlalu agresif lah yang membuatnya kesal. Lagipula, dia punya alasan tersendiri kok, untuk menolak sekian banyak laki-laki yang pernah menyatakan perasaan padanya.
"Tisha, kamu tahu kenapa aku kayak gini," Aima bergumam, dengan suara yang bergetar.
"...okay, then. Tapi aku nggak akan pernah bosen ngasih tahu kamu, Ai, kalau nggak semua yang telah terjadi sama kakakmu bakal terjadi sama kamu juga."
Klik. Telepon diputus.
Aima melemparkan handphone-nya ke atas ranjang. Kemudian dia membenamkan wajah manisnya ke dalam majalah kesayangannya tersebut. Sedih dan kesal, mengingat apa yang telah terjadi tiga tahun lalu.
Bila kejadian tragis itu tidak terjadi, mungkin saat ini dia sedang bercanda dan tertawa bersama dengan kakak semata wayangnya, Aira. Namun sayang, waktu tidak pernah dapat diputar ulang.
Saat itu Aima baru duduk di kelas dua SMP. Dia sangat akrab dengan kakak kesayangannya, Aira. Meskipun terkadang mereka bertengkar, namun mereka sangat kompak. Aira, yang telah berkuliah di sebuah universitas ternama, adalah seorang kakak yang lembut, ramah, dan pendengar yang baik. Dia selalu punya solusi untuk setiap permasalahan Aima. Dan dialah yang tahu berbagai macam rahasia Aima--bukan ibu mereka.
Aima ingat, Aira terlihat depresi dan penuh kekalutan beberapa hari sebelum kepergiannya. Namun, pagi itu Aira tetap berusaha terlihat ceria di hadapan adiknya--tidak ingin membuat adiknya yang akan menempuh ujian kenaikan kelas khawatir. Sayang, usaha Aira untuk menyembunyikan kekalutannya tetap sia-sia.
Saat akan mengerjakan soal ujian, Aima merasakan sesuatu yang aneh--perasaan yang membuatnya khawatir. Bahkan, saat tengah menyelesaikan soal-soal tersebut, tiba-tiba saja dia meneteskan air mata. Karena dia merasa aneh, dia segera pulang lebih awal dari biasanya--setelah menyelesaikan pekerjaannya.
Dia menyalakan handphone-nya, dan tiba-tiba ayahnya menelpon. Suara ayahnya terdengar begitu sedih, lemas, dan bergetar hebat. Terdengar isak tangis diantara hembusan napasnya.
"Aima, kakakmu meninggal... kecelakaan."
BRUK! Spontan, Aima segera menjatuhkan buku tulis yang ia pegang dengan tangan kanannya. Tubuhnya terasa lemas, jantungnya berdetak begitu kencang.
"Kak... Aira...? B--bohong... kenapa...??" tanyanya pelan, masih belum percaya, namun telah meneteskan air mata. Masih dengan seragam putih biru, dia terisak.
"Mobilnya masuk ke jurang dekat tikungan... pokoknya kamu ke RS dekat rumah, sekarang... Papa tunggu kamu di pintu masuk. Mama pingsan," jawab ayahnya, terdengar tak berdaya. Aima mengangguk pelan, kemudian memutuskan telpon sambil menangis. Dan barulah dia tersadar, kalau dia menerima SMS dari kakaknya... beberapa jam yang lalu, saat dia sedang mengerjakan soal-soal ujian.
"Ai... kata Lodi, temen kuliah Kakak, Thezar selingkuh sama anak Hukum... sebenernya udah dari seminggu yang lalu Lodi ngasih tahu Kakak, dan Kakak juga udah agak lama nyelidikin soal ini... tapi maaf ya, Kakak baru bisa kasih tahu kamu sekarang. Kakak nggak mau kamu kepikiran soal ini. Sekarang Kakak mau ke Sunrise Cinema. Kata Lodi, dia ngelihat Thezar lagi nonton bareng selingkuhannya di sana. Tapi sebentar lagi filmnya selesai, jadi Kakak harus cepet-cepet kesana. Kakak harus bisa mergokkin dia hari ini. Kakak mau nyelesain semuanya hari ini. Doain Kakak ya, Ai. Kalo Kakak berhasil mergokkin dan nyelesain masalah Kakak sama Thezar hari ini, kita makan banana split di Cliche, oke? ;)", begitulah bunyi SMS itu.
Aima menggeleng. Air matanya semakin deras.
"Nggak ada lagi makan banana split di Cliche, Kak....!" gumamnya pelan, sambil berlari ke tepi jalan raya, mencari bus kota.
Dan ternyata benar dugaan Aima. Aira terperosok di jurang karena mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi di dekat tikungan, demi memergokki Thezar--seorang laki-laki yang telah berpacaran dengannya selama 2 tahun. Dan dugaan Aira serta informasi dari Lodi benar-benar tepat. Thezar tengah berkencan dengan seorang gadis dari Fakultas Hukum, Karila, di Sunrise Cinema. Seharusnya Aira bisa memergokki mereka berdua... namun sayang, keinginan terakhirnya tidak sempat terpenuhi.
Dan apa yang Thezar lakukan? Dia malah menghilang begitu saja dari kehidupan Aira. Aima pernah mencoba datang ke kostnya, mengunjungi kampusnya, atau menunggu di berbagai tempat yang biasa Thezar kunjungi. Namun dia benar-benar menghilang secara misterius. Seolah takut bertemu dengan semua orang yang berhubungan dengan Aira.
Tiga tahun berlalu, namun Aima belum bisa memaafkan Thezar. Dan traumanya akan laki-laki yang tidak setia belum juga bisa membuatnya berpacaran dengan siapapun. Dia masih takut dan benci.
Seandainya Thezar tidak pernah melakukan perbuatan bodoh seperti itu, saat ini Aima pasti sedang bertukar pikiran dengan Aira. Bagaimana pun juga, Aima kehilangan banyak momen berharga dengan Aira.
Dia ingin menceritakan berbagai macam hal.
Tentang MOS-nya di SMU, kakak kelas yang tampan, sekolah baru yang luas, teman 'gokil' seperti Tisha, Rara, dan Meidi, seragam barunya yang kebesaran, nilai kenaikan kelasnya yang memuaskan, terkenal di SMU-nya, menjadi murid kelas 11 yang populer, dan banyak lagi.
Dia juga ingin mengalami berbagai macam hal bersama Aira.
Merayakan ulang tahunnya, menerima hadiah dari Aira, shopping bareng, bergosip, mengajak Aira ke prom nite SMP-nya, travelling, dan banyak lagi.
Namun, semua kebahagiaan itu telah direbut oleh seorang laki-laki brengsek bernama Thezar--yang meminta maaf saja tidak berani. PENGECUT.
Aima kembali meneteskan air matanya. "Bukan itu yang Kak Aira inginkan dari kamu, Aima Sayang," ucap Mama setiap Aima murung, meratapi kepergian Aira. Aima berusaha tersenyum, karena dia tahu bila orang tuanya juga merasa sakit sekali akan kepergian Aira.
Aima menyeka air matanya, kemudian berusaha mengusir rasa sakitnya. Dia segera mengenakan sweater dengan turtle-neck warna hijau tuanya, shorts sedikit di atas lutut warna putih, dan bando warna putih. Diambilnya handbag warna hijau emerald hadiah dari Aira saat dia berulang tahun yang ke-13, dan dia segera memakai flats warna hijau tua. Kemudian, dia berjalan menyusuri jalan raya kecil yang tidak terlalu ramai. Rumahnya dekat dengan Cliche, sebuah kafe terkenal di kotanya. Jadi dia bisa pergi kesana hanya dengan berjalan kaki.
Diraihnya handphone dari handbagnya. Lalu, dia mengetik SMS untuk Tisha.
"Aku OTW ke Cliche. Semoga kamu seneng," begitulah bunyi SMS tersebut. Klik! Dia kirim SMS tersebut untuk Tisha.
Baru saja beberapa langkah dia berjalan, langkahnya terhenti di dekat toko buku kecil. Ditatapnya sosok laki-laki tersebut lekat-lekat--sosok yang begitu dia kenal.
Thezar.
(BERSAMBUNG)
Love,
LadyLo
Diletakkannya majalah tersebut di atas meja belajarnya, kemudian dia mulai mengetik beberapa kalimat dengan komputernya. Membalas wall Facebook yang bertumpuk memang menyita waktu yang begitu lama. Kegiatan tersebut terhenti saat handphone-nya berdering keras.
"Aima?" suara diseberang sana menyapa penuh keraguan. Suara perempuan yang tidak asing lagi di telinga gadis tadi--Aima.
"Tisha? Kenapa?" tanya Aima, setengah menghela napas setelah kelelahan membalas puluhan wall yang menghiasi profil Facebook-nya dalam 20 menit belakangan ini. Tidak perlu heran. Siapa sih yang tidak kenal seorang Aima?
"Jalan ke Cliche, yuk? I've met a cute boy, and he promised to meet me at Cliche with his friend. Ini bisa jadi kesempatan yang bagus lho, Ai," Tisha menyahut, terdengar sangat antusias. Aima kembali menghela napas, sangat tidak tertarik.
"Ajak Rara aja deh, Sha. Sori, aku nggak minat," jawab Aima, terdengar datar. Tisha memang terdaftar di her bestfriends list, namun sifat Tisha yang satu ini--ganjen dan centil--adalah sisi negatifnya yang cukup Aima benci.
"Hah? Ngaco ah! Rara kan baru jadian sama Andri! Mana mungkin dia mau ikut ke Cliche..." Tisha terdengar putus asa. Aima menggeleng hebat.
"Nggak! Pokoknya nggak!" Aima menyahut, setengah memekik. Panik.
Tisha terdiam. Dia tahu, kalau Aima sampai berteriak, itu artinya dia benar-benar tidak mau. Dia mengambil napas dalam-dalam, dan mulai mengeluarkan suara.
"Iya deh... tapi nggak usah teriak gitu dong, Ai," kata Tisha. "Kalo kamu terus-terusan bersikap 'anti cowok' gini, kamu nggak akan pernah punya pacar loh, Ai."
Aima mendesah pelan. Kenapa sih, Tisha tidak juga bisa mengerti maksud dari sikapnya? Bukannya Aima anti cowok. Dia malah memiliki banyak sahabat laki-laki. Namun, sikap Tisha yang terlalu agresif lah yang membuatnya kesal. Lagipula, dia punya alasan tersendiri kok, untuk menolak sekian banyak laki-laki yang pernah menyatakan perasaan padanya.
"Tisha, kamu tahu kenapa aku kayak gini," Aima bergumam, dengan suara yang bergetar.
"...okay, then. Tapi aku nggak akan pernah bosen ngasih tahu kamu, Ai, kalau nggak semua yang telah terjadi sama kakakmu bakal terjadi sama kamu juga."
Klik. Telepon diputus.
Aima melemparkan handphone-nya ke atas ranjang. Kemudian dia membenamkan wajah manisnya ke dalam majalah kesayangannya tersebut. Sedih dan kesal, mengingat apa yang telah terjadi tiga tahun lalu.
Bila kejadian tragis itu tidak terjadi, mungkin saat ini dia sedang bercanda dan tertawa bersama dengan kakak semata wayangnya, Aira. Namun sayang, waktu tidak pernah dapat diputar ulang.
Saat itu Aima baru duduk di kelas dua SMP. Dia sangat akrab dengan kakak kesayangannya, Aira. Meskipun terkadang mereka bertengkar, namun mereka sangat kompak. Aira, yang telah berkuliah di sebuah universitas ternama, adalah seorang kakak yang lembut, ramah, dan pendengar yang baik. Dia selalu punya solusi untuk setiap permasalahan Aima. Dan dialah yang tahu berbagai macam rahasia Aima--bukan ibu mereka.
Aima ingat, Aira terlihat depresi dan penuh kekalutan beberapa hari sebelum kepergiannya. Namun, pagi itu Aira tetap berusaha terlihat ceria di hadapan adiknya--tidak ingin membuat adiknya yang akan menempuh ujian kenaikan kelas khawatir. Sayang, usaha Aira untuk menyembunyikan kekalutannya tetap sia-sia.
Saat akan mengerjakan soal ujian, Aima merasakan sesuatu yang aneh--perasaan yang membuatnya khawatir. Bahkan, saat tengah menyelesaikan soal-soal tersebut, tiba-tiba saja dia meneteskan air mata. Karena dia merasa aneh, dia segera pulang lebih awal dari biasanya--setelah menyelesaikan pekerjaannya.
Dia menyalakan handphone-nya, dan tiba-tiba ayahnya menelpon. Suara ayahnya terdengar begitu sedih, lemas, dan bergetar hebat. Terdengar isak tangis diantara hembusan napasnya.
"Aima, kakakmu meninggal... kecelakaan."
BRUK! Spontan, Aima segera menjatuhkan buku tulis yang ia pegang dengan tangan kanannya. Tubuhnya terasa lemas, jantungnya berdetak begitu kencang.
"Kak... Aira...? B--bohong... kenapa...??" tanyanya pelan, masih belum percaya, namun telah meneteskan air mata. Masih dengan seragam putih biru, dia terisak.
"Mobilnya masuk ke jurang dekat tikungan... pokoknya kamu ke RS dekat rumah, sekarang... Papa tunggu kamu di pintu masuk. Mama pingsan," jawab ayahnya, terdengar tak berdaya. Aima mengangguk pelan, kemudian memutuskan telpon sambil menangis. Dan barulah dia tersadar, kalau dia menerima SMS dari kakaknya... beberapa jam yang lalu, saat dia sedang mengerjakan soal-soal ujian.
"Ai... kata Lodi, temen kuliah Kakak, Thezar selingkuh sama anak Hukum... sebenernya udah dari seminggu yang lalu Lodi ngasih tahu Kakak, dan Kakak juga udah agak lama nyelidikin soal ini... tapi maaf ya, Kakak baru bisa kasih tahu kamu sekarang. Kakak nggak mau kamu kepikiran soal ini. Sekarang Kakak mau ke Sunrise Cinema. Kata Lodi, dia ngelihat Thezar lagi nonton bareng selingkuhannya di sana. Tapi sebentar lagi filmnya selesai, jadi Kakak harus cepet-cepet kesana. Kakak harus bisa mergokkin dia hari ini. Kakak mau nyelesain semuanya hari ini. Doain Kakak ya, Ai. Kalo Kakak berhasil mergokkin dan nyelesain masalah Kakak sama Thezar hari ini, kita makan banana split di Cliche, oke? ;)", begitulah bunyi SMS itu.
Aima menggeleng. Air matanya semakin deras.
"Nggak ada lagi makan banana split di Cliche, Kak....!" gumamnya pelan, sambil berlari ke tepi jalan raya, mencari bus kota.
Dan ternyata benar dugaan Aima. Aira terperosok di jurang karena mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi di dekat tikungan, demi memergokki Thezar--seorang laki-laki yang telah berpacaran dengannya selama 2 tahun. Dan dugaan Aira serta informasi dari Lodi benar-benar tepat. Thezar tengah berkencan dengan seorang gadis dari Fakultas Hukum, Karila, di Sunrise Cinema. Seharusnya Aira bisa memergokki mereka berdua... namun sayang, keinginan terakhirnya tidak sempat terpenuhi.
Dan apa yang Thezar lakukan? Dia malah menghilang begitu saja dari kehidupan Aira. Aima pernah mencoba datang ke kostnya, mengunjungi kampusnya, atau menunggu di berbagai tempat yang biasa Thezar kunjungi. Namun dia benar-benar menghilang secara misterius. Seolah takut bertemu dengan semua orang yang berhubungan dengan Aira.
Tiga tahun berlalu, namun Aima belum bisa memaafkan Thezar. Dan traumanya akan laki-laki yang tidak setia belum juga bisa membuatnya berpacaran dengan siapapun. Dia masih takut dan benci.
Seandainya Thezar tidak pernah melakukan perbuatan bodoh seperti itu, saat ini Aima pasti sedang bertukar pikiran dengan Aira. Bagaimana pun juga, Aima kehilangan banyak momen berharga dengan Aira.
Dia ingin menceritakan berbagai macam hal.
Tentang MOS-nya di SMU, kakak kelas yang tampan, sekolah baru yang luas, teman 'gokil' seperti Tisha, Rara, dan Meidi, seragam barunya yang kebesaran, nilai kenaikan kelasnya yang memuaskan, terkenal di SMU-nya, menjadi murid kelas 11 yang populer, dan banyak lagi.
Dia juga ingin mengalami berbagai macam hal bersama Aira.
Merayakan ulang tahunnya, menerima hadiah dari Aira, shopping bareng, bergosip, mengajak Aira ke prom nite SMP-nya, travelling, dan banyak lagi.
Namun, semua kebahagiaan itu telah direbut oleh seorang laki-laki brengsek bernama Thezar--yang meminta maaf saja tidak berani. PENGECUT.
Aima kembali meneteskan air matanya. "Bukan itu yang Kak Aira inginkan dari kamu, Aima Sayang," ucap Mama setiap Aima murung, meratapi kepergian Aira. Aima berusaha tersenyum, karena dia tahu bila orang tuanya juga merasa sakit sekali akan kepergian Aira.
Aima menyeka air matanya, kemudian berusaha mengusir rasa sakitnya. Dia segera mengenakan sweater dengan turtle-neck warna hijau tuanya, shorts sedikit di atas lutut warna putih, dan bando warna putih. Diambilnya handbag warna hijau emerald hadiah dari Aira saat dia berulang tahun yang ke-13, dan dia segera memakai flats warna hijau tua. Kemudian, dia berjalan menyusuri jalan raya kecil yang tidak terlalu ramai. Rumahnya dekat dengan Cliche, sebuah kafe terkenal di kotanya. Jadi dia bisa pergi kesana hanya dengan berjalan kaki.
Diraihnya handphone dari handbagnya. Lalu, dia mengetik SMS untuk Tisha.
"Aku OTW ke Cliche. Semoga kamu seneng," begitulah bunyi SMS tersebut. Klik! Dia kirim SMS tersebut untuk Tisha.
Baru saja beberapa langkah dia berjalan, langkahnya terhenti di dekat toko buku kecil. Ditatapnya sosok laki-laki tersebut lekat-lekat--sosok yang begitu dia kenal.
Thezar.
(BERSAMBUNG)
Love,
LadyLo
Label: Cerpen, My Creations