tarian kanya
Selasa, 18 Juni 2013 | 0 comments
Kanya memutar bola matanya, mengerahkan usaha terbaik untuk memandang langit-langit kamarnya. Warnanya abu-abu; satu-satunya warna yang pantas menggambarkan perasaannya saat ini. Warna yang bisa melukiskan kehampaan yang menyelimuti hatinya dengan sempurna. Tidak ada emosi sia-sia yang menggugah hatinya. Hanya ada hampa yang tak berbatas.
Kedua kakinya menggantung di udara, mulai bergerak liar ketika rasa sakit itu mulai menjalari tubuhnya. Namun tidak ada sedikitpun rasa takut yang membuncah dalam benaknya. Matanya tertutup, kemudian kembali membuka. Begitu terus selama beberapa detik.
Tidak ada rasa cinta yang mampu menandingi gelora ini.
Tidak ada amarah yang dapat melampaui gejolak ini.
Tangan Kanya ikut berayun liar, meminta perhatian dari seisi dunia yang tidak pernah dia dapatkan seumur hidupnya. Dia ingin semua orang berotak kiri itu melihatnya. Melihatnya yang sedang mengenakan kalung terindah yang pernah dia miliki sepanjang hidupnya. Kalung yang terbuat dari tali tambang, begitu pas hingga melilit lehernya.
Kanya menari, dalam balutan kalung kebanggaannya, dan emosi yang tidak pernah dia rasakan seumur hidupnya.
Sewaktu masih menjalani hidupnya sebagai seorang gadis dungu, Kanya pernah bertanya-tanya; kira-kira apa yang akan dia pikirkan pertama kali saat ajal menjemputnya? Mungkin Tuhan, tebaknya kala itu. Atau dosa-dosa yang pernah kuperbuat.
Ternyata, Kanya Dungu salah.
Yang pertama kali terbersit dalam ingatannya adalah orang-orang itu. Ibu yang meninggalkannya untuk laki-laki lain, kemudian sosok ayah yang tidak pernah menampakkan diri lagi di hadapannya. Lalu, lembaran-lembaran uang yang dikirimkan Ayah--entah dari mana asalnya. Figur Kakek dan Nenek susul-menyusul dalam otaknya, mengingatkan Kanya betapa mereka tak pernah muncul dalam hari-harinya. Dan orang-orang yang menyebut diri sebagai keluarganya itu, namun tak sekalipun mengulurkan tangan untuknya. Teman-teman yang menyambutnya dengan hangat juga tampil sempurna dalam memori otaknya, mengingatkannya akan peristiwa-peristiwa dimana Kanya--tanpa sengaja--memergoki mereka sedang membicarakannya, diam-diam.
Yang terakhir kali muncul adalah laki-laki itu. Orang yang selama ini dianggapnya sebagai seorang penyelamat, pahlawan yang berhasil menariknya keluar dari seluruh kesengsaraan itu. Ksatria yang dengan gagah berani membantu dan mendorongnya untuk memulai hidup yang baru. Pria yang telah memberikan harapan besar padanya. Manusia yang kemudian merenggut segalanya dari Kanya; seluruh harta yang selama ini selalu dia jaga. Tidak setitik pun dia sisakan. Tidak pula kepercayaan dan kesucian--dua hal yang tersisa dalam diri Kanya.
Semuanya muncul secara bergantian dalam ingatan Kanya, membuat Kanya mempertanyakan segala hal yang terjadi dalam hidupnya. Apakah dia telah menjalani takdirnya dengan baik? Mengapa dunia tidak pernah berpihak padanya, barang sekalipun?
Dan segera setelah Kanya melontarkan pertanyaan itu, Kematian datang menghapuskan segala keraguannya. Satu-satunya teman abadi yang akan menemaninya, tanpa sedikitpun pengkhianatan. Kanya tidak perlu merasa takut lagi, karena Kematian tak akan pernah meninggalkannya.
Kanya menggunakan tenaga terakhirnya untuk mengangkat kedua tangan, memeluk Kematian dalam tariannya yang tak berujung.
*****
Label: Cerpen