Ternyata
Minggu, 26 Februari 2012 | 0 comments
Ada gadis aneh di kelas sebelah.
Rambut sebahunya dibiarkan tergerai bebas dengan poni yang dijepit ke atas, membuat dahinya gampang terlihat. Wajahnya bulat, dan ada kacamata berlensa persegi panjang dengan frame warna hitam yang selalu menghiasinya. Kedua lengan seragamnya selalu digulung hingga siku. Rok abu-abu semata kakinya robek sampai ke betis, dan hanya dibiarkan begitu saja. Seolah-olah dia sama sekali tidak mempedulikan kerusakan yang ada pada roknya itu.
Dia selalu menghabiskan sebagian besar waktunya dengan bercanda tawa bersama sahabatnya; seorang perempuan bertubuh tinggi menjulang dan kurus yang rambutnya selalu dikuncir kuda. Qiara juga sering mendapatinya sedang membaca sebuah novel yang biasanya cukup tebal. Belakangan ini Qiara baru menyadari bahwa novel yang dia bawa selalu berbeda setiap harinya.
Awalnya Qiara tidak terlalu memperhatikan gadis itu, hingga akhirnya dia menemukan gadis tersebut di balkon sekolah pada suatu senja. Setiap sore, gadis itu selalu menyempatkan diri untuk datang ke balkon dan menyanyikan lagu-lagu bernada sedih dalam bahasa asing yang tidak dikenal Qiara. Hanya saja, wajahnya tidak pernah terlihat benar-benar sedih. Tatapan matanya kosong, namun kedua alisnya dan sudut-sudut bibirnya selalu memancarkan emosi yang berbeda. Qiara tidak pernah mengerti bagaimana bisa gadis itu menyanyikan lagu-lagu sedih dengan wajah penuh amarah seperti itu.
Terkadang Qiara tergoda untuk menyapa gadis aneh itu. Tapi Qiara selalu berhasil menahan diri. Tidak seharusnya dia bergaul dengan orang-orang semacam itu, kan? Qiara harus tetap berada di dalam lingkarannya yang aman. Lingkaran yang bersinar, dan menjanjikan kehidupan sosial yang menyenangkan.
**
Hari ini Qiara memergoki gadis itu sedang menatapnya tajam. Saat itu mereka sedang berada di kantin dengan teman mereka masing-masing. Setelah dipikir ulang, ini bukan kali pertama Qiara mendapati gadis itu sedang memelototinya. Rasa penasaran sempat merayapi hati Qiara. Namun orang-orang seperti Qiara memang mudah mengundang rasa benci di sekolah, sehingga dia memutuskan untuk mengabaikannya tepat saat Aksa menggandeng tangannya.
Aksa adalah kekasih Qiara. Satu sekolah jelas sudah mengetahui hal itu. Aksa yang tampan, Qiara yang cantik; mereka berdua adalah jenis pasangan langka yang hanya sering terjadi di komik-komik—atau sinetron. Ketika Qiara lebih memilih untuk memperlihatkan kemesraan mereka berdua pada kalangan terbatas saja, Aksa adalah tipe laki-laki yang suka mengumbar aktivitas mereka dimana-mana. Menggandeng Qiara di koridor sekolah, merangkulnya di kantin, duduk sebangku dengannya di kelas—di setiap sudut selalu saja muncul aura percintaan mereka.
Tentu saja Qiara merasa asing pada awalnya. Meskipun teman-temannya sudah terbiasa dengan gaya berpacaran macam itu, Qiara termasuk perempuan alim yang selalu menjaga diri dalam lingkarannya. Aksa juga bukannya sejak dulu bertingkah aneh seperti itu. Aksa yang pertama kali Qiara kenal merupakan sosok yang hangat, sosok yang melindungi, yang segan untuk sembarangan menyentuh Qiara, seolah Qiara adalah gelas kaca yang ringkih dan mudah pecah. Lama-kelamaan Aksa berubah, seiring dengan meningkatnya intensitas pertemuan mereka.
Selama tiga bulan belakangan ini, Aksa selalu memandangnya dengan tatapan mata kosong. Tanpa siluet Qiara yang terpantul di kedua bola matanya yang bulat sempurna layaknya manik-manik yang indah. Ingatannya seperti menguap entah kemana, meninggalkan tubuhnya di hadapan Qiara.
Saat ini, kedua bola mata itu tengah menatap Qiara dengan nanar. Ada rasa sakit yang tak terhingga di sana.
**
“Aku capek.” Aksa mengucapkannya dengan cukup lantang ketika hanya ada dia dan Qiara di dalam mobilnya.
Capek. Lelah. Qiara lah satu-satunya orang yang mengerti maksud dari perkataan Aksa. Artinya dia ingin berhenti berjuang. Ingin meninggalkan Qiara. Ingin memutuskan hubungan ini.
Qiara bersandar pada jok mobil yang dia dudukki saat ini. Pada saat-saat normal, mungkin dia sudah memaki Aksa habis-habisan. Seharusnya dia melakukan itu. Setelah satu tahun bergulir dengan ujian di sana-sini dalam hubungan mereka, justru Aksa—yang menjanjikan keabadian dalam hubungan mereka—lah yang memutuskan untuk berhenti. Qiara menatap kedua telapak tangannya, menghitung kira-kira sudah berapa lama Aksa merasakan kejenuhan yang tak bertepi itu.
Menjadi orang yang perhitungan itu cukup sulit. Qiara baru menyadarinya ketika dia menutup kedua matanya, menimbang-nimbang siapa yang paling banyak memberikan keuntungan dan manfaat dalam hubungan ini, dan apa yang harus dia lakukan dalam menghadapi situasi ini. Apakah dia harus menangis meraung-raung? Apakah dia harus mengiba pada Aksa agar bersedia memikirkan ulang keputusannya? Apakah semua itu bisa membuat Aksa kembali kepadanya?
Sesak memenuhi dada Qiara. Rasanya seperti ada asap yang memenuhi pikirannya saat ini. Hatinya terasa sangat panas hingga ke ubun-ubun. Qiara sendiri tidak tahu apakah rasa panas tersebut diakibatkan oleh amarah, atau justru kesedihan yang kini menghinggapi hatinya. Otaknya seperti baru saja tersetrum listrik ribuan Watt. Tubuhnya gemetar hebat. Ujung-ujung bahunya mulai goyah. Pertahanannya mulai luntur. Sebenarnya, Qiara ingin menangis.
Tapi Qiara harus tetap berdiri tegak di atas keyakinannya. Dia tidak boleh terlihat lemah di depan laki-laki ini. Dia tidak mengizinkan dirinya untuk memberikan suatu kepuasan pada laki-laki ini. Kepuasan karena telah sukses mencampakkannya. Kenyataan sudah cukup membuatnya terlihat menyedihkan, tak perlu lagi ditambah dengan deraian air mata yang sia-sia.
Qiara menarik napas dalam-dalam, berusaha agar suaranya terdengar sebulat mungkin. “Oh.”
Hanya itu jawabnya.
Lalu Qiara membuka pintu mobil Aksa dan melangkah keluar dengan mantap. Rambutnya yang panjang sepunggung dan diikat satu dengan sempurna itu bergoyang perlahan, seperti memberikan lambaian selamat tinggal yang permanen ke arah Aksa. Dia membuka pintu pagar rumahnya, kemudian berjalan masuk tanpa menyempatkan diri untuk menoleh ke belakang lagi. Sayup-sayup, deru mobil Aksa yang menjauh mulai merasuki telinganya.
Pertahanan Qiara yang begitu teguh mulai runtuh setelah masuk ke rumah. Di dalam kamar, dia menangis semalaman.
Keesokan harinya, dia melihat Aksa sedang merangkul gadis aneh dari kelas sebelah itu di ujung koridor.
***
Label: Cerpen