Lady Octopus by Nona Soedhowo. +Follow | Dashboard
Lady Octopus
Entries ~~ LadyLo ~~ Friends ~~ Connect



dalam kabut
Senin, 15 September 2014 | 0 comments

Aku melihatnya dalam mimpiku.

Dia tampak begitu berbeda. Dirinya yang kuingat adalah dia yang berambut cepak, dengan bekas goresan luka di siku kirinya yang muncul saat ia terjatuh dari motor, dulu sekali. Waktu itu, dia hanya tertawa sembari membebaskan diri dari jepitan motornya. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana ia menepuk-tepuk celananya yang kotor, kemudian menasehatiku untuk tidak meniru caranya berkendara.

Waktu itu, dia masih selamat.

Aku juga belum bisa melupakan bagaimana dia akan berlari di pagi buta, menembus selimut kabut yang begitu tebal hanya karena ia menyukainya. Hal yang dulu menjadi alasan pertamaku merasa penasaran dengannya. Bahkan hingga kini pun, aku seolah mampu merasakan keberadaannya melalui gumpalan kabut yang kadang menerjang di tengah perjalananku. Dan ketika hal itu terjadi, aku akan melongokkan kepalaku ke luar jendela mobil dan menjulurkan tangan, sekedar untuk menyentuh kabut itu. Sejenak, aku bisa melihat dirinya yang dulu, berlari menembus kabut yang ada dan terlihat begitu terang di tengah kekelaman yang ada.

Di tengah kabut itu pula ia pernah menceritakan mimpi-mimpinya kepadaku. Tentang bagaimana dia berambisi menjadi sutradara film dokumenter, hal yang begitu sulit dilakukan namun sangat ingin dia wujudkan. Di sela malam yang dingin, dia menyebutkan barisan nama yang terdengar begitu asing di telingaku, yang kemudian dia perkenalkan sebagai sutradara-sutradara favoritnya. Itulah kali pertama aku berhasil menangkap sinarnya yang paling terang. Sinar yang tidak muncul ketika dia berlari menembus lapisan kabut itu. Sinar yang tidak muncul saat ia menampilkan tawa lepas yang selalu menjadi ciri khasnya. Lalu dia memiringkan kepalanya menatapku, dan menekankan betapa seharusnya aku menjadi film scorer pribadinya. Aku menyunggingkan senyum, dan dia terus berusaha meyakinkanku hingga akhirnya aku menjanjikan hal itu untuknya.

Waktu itu, rasanya seperti kami berjanji untuk selalu bersama. Berdua.

Janji itu kemudian berubah menjadi langkah-langkah kecil yang kami ambil guna mewujudkannya. Setiap bulan, dia dan timnya akan membuat film dokumenter untuk disertakan dalam kompetisi-kompetisi film pendek. Dan tiap itu pula lah aku, bermodalkan kemampuanku memainkan piano dan biola, menyusun lagu-lagu untuknya. Ada kenikmatan tak terukur yang muncul tiap kali melihat hasil akhir karya kami. Dan sampai saat ini pun aku selalu bersyukur. Betapa beruntungnya kami yang sempat mengabadikan kolaborasi kami dalam wujud yang begitu nyata, begitu indah. Dan betapa beruntungnya aku yang pernah memiliki dia, yang berhasil menyingkap kabut pekat yang ada dalam hatiku dengan segala terangnya.

Segalanya pernah terasa terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan, hingga akhirnya Tuhan menyadarkan kami bahwa apa yang sempurna tidak pernah ada.

Di dalam kabut yang ia cintai, nyawanya terenggut. Aku masih bisa mengingat jelas bagaimana helm itu terlempar, bagaimana ban motornya tidak berhenti berputar, dan bagaimana tubuhnya terkulai lemas di hadapanku. Saat itu, aku masih tidak bisa mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Otakku terlalu beku untuk menelaah situasi yang ada, dan hatiku terlalu hancur untuk menerima kenyataan itu. Semua orang berusaha meyakinkanku tentang betapa beruntungnya aku untuk memiliki keajaiban itu. Namun sesungguhnya yang ada dalam pandanganku hanyalah bagaimana keberadaannya semakin menipis, dan bagaimana trophy kami hancur berkeping-keping di tengah jalan. Segala hal yang selama ini telah kami perjuangkan mati-matian hilang dalam sesaat, bersama dengan menipisnya kabut yang ada.

Kabut itu, dan trophy itu.
Tuhan membiarkannya membawa serta hal-hal yang ia cintai, namun mengapa Tuhan menyisakanku di sini? Apakah aku masih belum cukup pantas untuk mendampinginya?

Pertanyaan itu terus terpaku dalam benakku, hingga akhirnya aku kembali melihatnya dalam mimpiku malam ini. Sudah berapa lami tidak bertemu? Belasan tahun. Itu saja sudah cukup menjelaskan rambut panjangnya, rahang kerasnya, dan tubuh kokohnya. Dia hanya berdiri di sana, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Aku berusaha untuk melangkahkan kaki menghampirinya, namun gagal. Dia menatapku dengn cara yang persis sama seperti yang selalu dia lakukan selama ini. Dirinya terasa begitu jauh sekaligus dekat. Terlihat begitu nyata dan sempurna hingga rasanya seperti ilusi semata. Keberadaannya mengingatkanku bahwa kami pernah begitu dekat dengan mimpi kami.

Aku merasakan bulir air mataku mulai mengalir. Awalnya hanya berupa tetesan-tetesan kecil, hingga akhirnya aku tak tahan lagi dan meledakkan tangisku. Tidak ada sedikitpun suara yang terdengar, namun kami berdua sama-sama tahu betapa keras aku berteriak memaki, menyesali seluruh kejadian yang telah terjadi. Apa yang melintasi kepalaku adalah tangan kami yang dulu selalu bertautan, kepalaku yang bersender di bahunya, kemudian lembaran-lembaran partitur lagu yang telah kuciptakan untuknya. Semua itu adalah nyata, tapi sekarang semuanya terasa fana. Dan itu terjadi karena dia pergi terlalu cepat.

Pergi tanpa sempat mewujudkan mimpi kami.

Aku mendongakkan kepalaku, berharap dia akan datang dan menghapuskan air mataku. Namun dia tidak berpindah sedikitpun dari posisinya, dan hanya menatapku dengan pandangan nanar dari jauh sana. Aku mengernyitkan alis, tidak memahami alasan dia yang tidak kunjung menghampiriku.

Sampai akhirnya aku menyadari, dia pun tidak bisa menggerakkan kakinya.

Lambat-laun, senyumnya mulai merekah. Aku bisa merasakan dentuman kecil dalam dadaku yang timbul karena senyuman itu. Senyuman yang menyerupai matahari yang baru saja terbit, menerangi tempat yang telah diliputi kegelapan untuk waktu yang terlalu lama.

Tiba-tiba saja aku terbangun dari mimpiku. Pipiku telah basah oleh air mata, dan dadaku terasa begitu perih. Napasku masih tersengal-sengal ketika aku menyadari jendela kamarku terbuka. Aku bangkit dari kasur untuk menutupnya, dan saat itulah aku melihat pemandangan yang terlalu indah untuk aku yakini sebagai kenyataan.

Di luar sana, kabut masih menutupi langit. Udara terasa begitu dingin sampai tubuhku sedikit menggigil. Namun tak perlu waktu lama untuk matahari menampakkan dirinya di langit timur, mengisi langit gelap dengan cahayanya yang terang dan menghangatkan. Cahaya itu kemudian menyisipkan diri di tengah-tengah pekatnya kabut yang ada. Indah, sekaligus terasa menyakitkan.

Aku mengulurkan tanganku untuk menyentuh kabut itu, dan mendadak kenyataan bahwa inilah caranya menyampaikan salam perpisahan melintas di benakku. Pemandangan ini ada untuk menebus perpisahan yang datang terlalu tiba-tiba, dan belasan tahun yang melayang begitu saja tanpa adanya closure dari seluruh rangkaian kejadian yang telah menghancurkan diriku ini.

Air mataku kembali menetes, kali ini disertai dengan senyum yang tersungging tipis di bibirku. Bahkan setelah belasan tahun berlalu, dia selalu penuh kejutan dan tidak pernah berubah. Betapa ajaib rasanya memikirkan fakta bahwa dia telah lenyap, dan segala kemagisan dalam dirinya masih terasa dekat. Dalam hati aku berjanji untuk memberikan penampilan terbaikku nanti malam, dan tak akan pernah melupakannya barang sedikitpun ketika aku tampil di atas panggung, dalam konser yang kugelar sebagai tribute untuk dirinya. Aku akan mengingat kenangan-kenangan yang pernah kami miliki, dan betapa momen ini terasa begitu mengiris hati sekaligus menjalarkan rasa hangat dalam tubuhku.

Kabut itu mulai memasuki kamarku, menyelubungi tubuhku. Aku merasakan kehadirannya dalam kabut itu, dan mengangkat tangan untuk meraihnya. Inilah caranya memelukku untuk yang terakhir kalinya, dan aku menghargainya. Tidak ada lagi raungan yang pecah, tidak ada lagi ratapan yang mengisi kamar. Yang ada hanyalah tetesan air mata bahagia, rasa syukur akan betapa beruntungnya aku pernah memilikinya, dan keinginan untuk mengabadikan momen ini selamanya.


Dalam kabut itu, aku tenggelam dengan seluruh keikhlasan yang aku miliki.


***



Disarm you with a smile
And leave you like they left me here
To wither in denial
The bitterness of one who's left alone
Oh, the years burn
--The Civil Wars (Disarm)

Older Post | Newer Post